Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM) Kejaksaan Agung RI Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum., menjadi Penguji Eksternal pada Sidang Promosi Doktor Jusak Elkana Ayomi yang digelar oleh Fakultas Hukum Unhas pada Kamis (25/9). Jusak Elkana Ayomi mempertahankan Disertasi berjudul "Reformulasi Pengaturan Pidana Denda dalam Tindak Pidana Persetubuhan dengan Kekerasan terhadap Anak pada Masyarakat Adat Papua". Sidang dipimpin oleh Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.A.P., selaku Dekan FH Unhas yang juga bertindak sebagai Ko-Promotor. Bertindak sebagai Promotor adalah Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S., dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.Hum. sebagai Ko-Promotor. Sementara itu, Penguji Internal terdiri atas Prof. Dr. A. M. Syukri Akub, S.H., M.H., Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., dan Dr. Hijrah Adhyanti Mirzana, S.H., M.H.
Prof. Asep Mulyana memberikan apresiasi terhadap pendekatan kritis yang diambil promovendus, terutama dalam menyoroti ketidakefektifan pidana denda sebagai bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam kasus persetubuhan terhadap anak. Ini adalah disertasi yang bukan hanya akademis, tapi juga ideologis dan berpihak pada keadilan korban. Menurutnya, promovendus secara berani mengusulkan agar denda tidak lagi dijadikan bagian dari PNBP, terutama dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ini sangat progresif. Dia menambahkan bahwa negara tidak seharusnya mengambil keuntungan dari kejahatan personal seperti kekerasan seksual melalui mekanisme PNBP. Negara tidak boleh beruntung dari penderitaan korban. Denda dalam kasus seperti ini tidak hanya tidak tepat, tapi mencederai rasa keadilan. Negara harus hadir untuk melindungi korban, bukan mengambil keuntungan dari pelaku.
Prof. Asep Mulyana juga menanggapi mengenai fakta bahwa semua pelaku lebih memilih menjalani kurungan yang menunjukkan bahwa sistem denda ini gagal. Bahkan ada pelaku yang dijatuhi penjara 7 tahun dan denda Rp1 juta, tapi subsidiernya hanya satu bulan. Ini tidak logis dan merusak tujuan pemidanaan. Ia juga menyoroti variatifnya besar denda yang tidak proporsional dengan pidana penjara. Ada kasus yang pidana penjaranya 10 tahun, tapi dendanya hanya Rp10 juta. Sementara di kasus lain, penjara 5 tahun tapi dendanya Rp600 juta. Ini mencerminkan tidak adanya standar yang adil.
Prof. Asep Mulyana menekankan pentingnya konsep victim impact statement yang diangkat dalam disertasi. Konsep ini, yang banyak diterapkan di negara seperti Australia dan Finlandia, menempatkan korban sebagai subjek yang didengar dalam proses hukum. Kita tidak bisa terus-menerus mengabaikan suara korban. Konsep victim impact statement penting untuk memberikan keadilan yang utuh, dan saya senang disertasi ini mendorong hal tersebut. Konsep ini telah mulai diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Korban yang sedang dibahas di DPR dan Tim Pemerintah. Bahkan, dirinya terlibat langsung sebagai perwakilan Kejaksaan Agung dalam pembahasan RUU KUHAP baru. Dia berharap temuan ini bisa menjadi pijakan penting untuk memperbaiki sistem pemidanaan di Indonesia, khususnya dalam kasus kekerasan terhadap anak. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi soal keadilan substantif.